Daftar isi
Penyakit pes adalah penyakit infeksi pada manusia dan hewan yang disebabkan oleh bakteri Yersinia pestis. Pes disebut juga penyakit sampar, plague, atau black death. Penyakit ini ditularkan dari hewan pengerat (terutama tikus) melalui perantara kutu (flea). Kutu perantara yang paling sering adalah jenis Xenopsylla cheopsis. Penyakit ini di Indonesia termasuk salah satu penyakit menular dalam Undang-Undang Wabah yang harus dilaporkan kepada Dinas Kesehatan dalam waktu 24 jam pertama sejak diketahui. Pes disebut sebagai black death karena salah satu gejala penyakit ini adalah kehitaman pada ujung-ujung jari dan tingkat kematiannya yang tinggi.
Gejala timbul 2 hingga 8 hari setelah gigitan kutu, jarang melebihi 15 hari. Sebagian besar penderita mengalami gejala awal yaitu tidak napsu makan, rasa dingin, berdebar- debar, dan nyeri di daerah selangkangan. Berdasarkan gejala, pes dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu pes tipe kelenjar getah bening, pes tipe infeksi luas, dan pes tipe paru.
Pes tipe kelenjar getah bening (bubonik)
Pes tipe ini paling sering ditemui (75% dari semua kasus pes). Demam merupakan gejala awal; suhu dapat mencapai 41oC, disertai gejala lain seperti nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala, dan lemas. Segera setelah gejala awal (umumnya dalam 24 jam), pasien merasakan nyeri dan pembengkakan pada kelenjar getah bening.
Gejala khas pada tipe ini adalah adanya pembesaran kelenjar getah bening (diameter 2-10 cm) yang bengkak dan merah. Kelenjar getah bening yang paling sering terkena adalah kelenjar di selangkangan karena gigitan kutu lebih sering terjadi di kaki. Pada anak, dapat ditemui pembesaran kelenjar getah bening di ketiak atau leher. Dalam hitungan jam, pembengkakan kelenjar ini akan terasa sangat nyeri sehingga pasien menghindari tekanan atau gerakan di sekitar kelenjar tersebut. Daerah pembengkakan berwarna merah, tegang, dan teraba hangat. Seiring waktu, pembesaran getah bening ini bisa berisi nanah yang mengandung bakteri Y. pestis; nanah ini dapat mengalir ke luar secara spontan. Di sekitar pembengkakan terkadang dapat ditemui bekas gigitan kutu berupa tonjolan merah, luka dalam, atau seperti bisul yang disertai jaringan mati berwarna kehitaman (pes kutaneus).
Bakteri penyebab pes dapat menghasilkan racun (toksin) yang menyebar ke seluruh tubuh, sehingga jika penderita tidak diobati dengan baik dapat terjadi komplikasi lanjut. Komplikasi ini dapat berupa perdarahan di saluran napas, saluran pencernaan, saluran kencing, dan rongga-rongga tubuh; penurunan kesadaran sampai koma; kejang; kegagalan aliran darah; dan kegagalan organ sampai kematian. Pes bubonik yang sampai ke otak dan menyebabkan radang selaput otak disebut pes meningitis, dengan gejala sakit kepala, kejang, kaku leher, dan koma. Pes tipe bubonik umumnya menyebabkan gejala berat, namun terdapat juga pes bubonik ringan yang disebut pes minor.
Pes tipe infeksi luas (septikemia)
Bakteri pada saluran getah bening dapat sampai ke aliran darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Pada tipe septikemia, tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening. Gejala timbul dalam waktu sangat singkat, berupa demam, pucat, lemah, bingung, penurunan kesadaran hingga koma. Racun yang dihasilkan oleh bakteri dapat menyebabkan gumpalan darah kecil-kecil di seluruh tubuh sehingga menyebabkan hambatan aliran darah. Tidak adanya aliran darah menyebabkan kematian jaringan (gangrene) yang ditandai dengan warna kehitaman. Gumpalan darah ini menghabiskan bahan-bahan pembeku darah sehingga terjadi perdarahan di berbagai tempat, seperti perdarahan kulit yang tampak seperti bintik-bintik merah keunguan, batuk darah, buang air besar disertai darah, serta muntah darah. Jika tidak diobati, pes tipe ini fatal. Penderita dapat meninggal dunia pada hari pertama sampai ketiga setelah timbulnya demam.
Pes tipe paru – paru (pneumonik)
Pada pes tipe ini, bakteri terutama menginfeksi paru. Infeksi pada paru dapat terjadi secara primer akibat penularan dari udara atau titik-titik air liur (droplet) penderita lain, atau secara sekunder dari penyebaran bakteri melalui aliran darah pada tipe bubonik. Gejala tipe ini adalah kelemahan, nyeri kepala, demam, batuk dan sesak napas. Batuk umumnya berdahak cair dan disertai darah. Sejak awal dapat terjadi penurunan kesadaran dan penderita dapat meninggal pada hari keempat sampai kelima setelah gejala pertama timbul jika tidak diobati.
Pes dapat ditemui di seluruh dunia, terutama di benua Afrika. Sebagian besar penderita pes merupakan penduduk desa, lebih banyak ditemui pada laki – laki, dan dapat terjadi pada semua umur. Pes disebabkan oleh infeksi bakteri Yersinia pestis.
Bakteri ini pada awalnya menginfeksi kutu. Ketika kutu menggigit tikus, maka tikus tersebut akan terinfeksi bakteri pes. Dengan demikian, jika kutu lain menggigit tikus sakit tersebut, maka kutu tersebut juga akan terinfeksi. Jika kutu – kutu ini menggigit manusia, maka bakteri dalam tubuh kutu akan masuk ke dalam tubuh manusia, mengikuti aliran getah bening dan menyebar melalui sirkulasi darah. Di kelenjar getah bening, bakteri ini menimbulkan reaksi radang berupa bengkak, kemerahan dan nanah. Bakteri ini kemudian menyebar melalaui aliran darah ke organ-organ lain seperti limpa, paru-paru, hati, ginjal dan otak. Ketika sampai paru-paru, bakteri ini dapat menyebabkan radang (pneumonia) dan dapat menularkan penyakit kepada orang lain melalui batuk atau bersin. Bakteri yang dibatukkan dapat bertahan di udara dan dapat terhirup oleh orang lain. Pes tidak hanya dapat menginfeksi tikus, namun juga bisa menginfeksi kucing, anjing, dan tupai.
Selain melalui gigitan kutu, pes dapat menular dengan berbagai cara lain, yaitu:
Pengobatan dilakukan dengan cara terapi. Umumnya diperlukan perawatan inap untuk memulai terapi. Terapi utama adalah dengan pemberian antibiotik. Pemilihan jenis antibiotik bergantung pada gejala klinis penderita. Untuk gejala berat seperti tipe septikemia dan tipe pneumonik, Streptomisin adalah pilihan utama. Obat ini diberikan secara suntik ke dalam otot (intramuskular) selama 5-7 hari. Antibiotik suntik dapat diganti menjadi obat tablet/pil jika terdapat perbaikan gejala. Total lama pengobatan pes adalah 7-10 hari. Untuk gejala ringan, dapat diberikan antibiotik Tetrasiklin. Tetrasiklin diberikan dalam bentuk tablet atau pil (per oral) selama 10-14 hari. Ada juga berbagai alternatif antibiotik lainnya adalah Gentamisin, Kloramfenikol, Doksisiklin, Trimetropim-Sulfametoksazol, dan Sulfadiazin.
Penderita yang dicurigai menderita pes pneumonik harus dirawat dalam ruang isolasi sampai minimal 2 hari pemberian antibiotik atau terbukti tidak menderita pes. Petugas kesehatan harus menggunakan masker untuk menghidari penularan melalui udara. Pes yang mengalami komplikasi harus dirawat secara intensif. Pembesaran kelenjar getah bening yang berisi nanah mungkin memerlukan pengeluaran nanah secara bedah.
Jika tidak diobati, pes menyebabkan kematian pada >50% penderita tipe bubonik dan hampir 100% pada tipe septikemia dan pneumonik. Tingginya angka kematian dipengaruhi juga oleh keterlambatan diagnosis, kesalahan diagnosis, keterlambatan pengobatan, atau ketidaktepatan pengobatan.
Tindakan pencegahan pes dapat berupa menghindari daerah yang rawan pes; menghindari hewan yang sakit atau mati; menggunakan obat pengusir serangga atau baju pelindung jika berisiko terpapar kutu; serta menggunakan sarung tangan jika harus menangani hewan mati. Tempat tinggal dan makanan hewan pengerat (sampah, makanan hewan) harus dimusnahkan dari sekitar tempat tinggal. Jika seseorang diketahui terpapar oleh kutu atau hewan mati, dapat diberikan pengobatan antibiotik pencegahan selama 5 hari. Vaksinasi pes tersedia dan saat ini digunakan untuk petugas laboratorium yang berisiko terpapar bakteri pes serta orang-orang dengan pekerjaan yang berkaitan dengan binatang pengerat.
Sumber Dennis DT, Campbell GL. Chapter 152: Plague and Other Yersinia Infections dalam Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th Ed. USA: McGraw-Hill. 2008. Plague Manual: Epidemiology, Distribution, Surveillance and Control, hal. 9 dan 11. WHO/CDS/CSR/EDC/99.2 Triwibowo. Bab 404: Penyakit Sampar dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006.