Janji adalah akad, ijab, kesanggupan, kesepakatan, komitmen. Perjanjian adalah perikatan di mana hak dan kewajiban yang timbul dikehendaki oleh para pihak (subyek hukum). Setiap orang berhak mengadakan perjanjian, dengan syarat perjanjian itu memenuhi Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:
a. Adanya persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang membuat perjanjian(konsensus); Persetujuan kehendak ini sifatnya bebas, artinya tidak ada paksaan atau tekanan baik berupa kekerasan fisik atau upaya untuk menakut-nakuti dari pihak manapun juga agar orang tersebut mau menyetujui perjanjian, persetujuan membuat perjanjian ini benar-benar keinginan sukarela para pihak. Dalam hal ini juga tidak ada kekhilafan dan tidak ada penipuan. Suatu perjanjian yang di dalamnya terdapat kekhilafan atau penipuan maka perjanjian tersebut menjadi batal.
b. Adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian (capacity);
Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian di sini maksudnya adalah pihak yang membuat perjanjian telah dewasa sehingga ia dikatakan cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Dewasa dalam hal ini artinya ia telah berumur 21 tahun atau sudah menikah sebelum berumur 21 tahun. Berdasarkan ketentuan Pasal 1330 KUHPerdata, seseorang dikatakan tidak cakap membuat perjanjian ialah orag yang belum dewasa, di bawah pengampuan, dan wanita bersuami. Bagi mereka yang apabila melakukan perbuatan hukum harus diwakili oleh wali mereka. Untuk wanita yang bersuami, menurut hukum nasioanl Indonesia hal ini tidak berlaku lagi sehingga ia dapat mengadakan perjanjian tanpa seijin suami. Suatu perjanjian yang tidak memenuhi syarat kecakapan ini dapat dimintakan pembatalannya kepada Hakim.
c. Suatu hal tertentu (objek);
Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, objek perjanjian, prestasi yang wajib dipenuhi. Berdasarkan Pasal 1234 KUHPerdata prestai atau objek hokum dibedakan atas:
d. Suatu sebab yang halal (causa).
Sebab yang halal berdasarkan Psal 1320 KUHPerdata ini memiliki arti tentang isi perjanjian itu, bukan merupakan sebab yang mendorong seseorang membuat suatu perjanjian.
Syarat (a) dan (b) yang dikemukakan di atas tadi disebut syarat subjektif, karena melekat pada diri orang yang mengadakan perjanjian. Jika syarat ini tidak dipenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan. Dalam keadaan ini maka akibat-akibat yang timbul dari perjanjian itu dikembalika ke keadaan semula sebelum diadakannya perjanjian.
Syarat (c) dan (d) disebut syarat objektif, karena mengenai sesuatu yang dijadikan objek perjanjian. Jika syarat ini tidak dipenuhi maka perjanjian batal demi hukum dengan dimintakan pembatalan kepada hakim.
Perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut kemudian mempunyai kekuatan mengikat seperti undang-undang. Hal ini diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata, yaitu “Semua perjanjian yang dibuat dengan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang mempunyai kekuatan sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Jika ada pihak yang melanggar perjanjian yang mereka buat, maka dianggap sama dengan melanggar undang-undang, sehingga diberi akibat hukum tertentu yaitu sanksi hukum. Jadi, siapapun yang melanggar perjanjian, ia dapat dituntut dan diberi hukuman seperti yang telah ditetapkan dalam undang-undang (perjanjian).
Berdasarkan kedua Pasal di atas tadi, maka setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan isi pasal-pasal tersebut. Perjanjian seperti ini disebut mempunyai “sistem terbuka”, karena dapat dilakukan oleh setiap orang. Adapun macam perjanjian ini adalah:
Pada umumnya perjanjian tidak terikat pada suatu bentuk tertentu, dapat dibuat secara lisan. Namun untuk sebagai bukti jika ada perselisihan ada baiknya suatu perjanjian dibuat secara tertulis. Untuk beberapa perjanjian, undag-undang telah menentukan suatu bentuk tertentu, sehingga apabila bentuk itu tidak dituruti maka perjanjiannya menjadi tidak sah.
Ada beberapa pihak yang menjadi terkait dengan dibuatnya suatu perjanjian. KUHPerdata membaginya menjadi 3 golongan yaitu:
a. Para pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri (Pasal 1340 KUHPerdata);
Pada dasarnya ini merupakan asas pribadi, di mana para pihak tidak dapat mengadakan perjanjian yang mengukat pihak ketiga, kecuali ditentukan lain dalam perjanjiannya.
b. Para ahli waris dari pihak yang mengadakan perjanjian dan mereka yang mendapat hak dari padanya (Pasal 1318);
Beralihnya hak kepada ahli waris tersebut adalah akibat peralihan dengan alas hak umum yang terjadi pada ahli warisnya. Beralihnya perjanjian kepada orang-orang yang memperoleh hak khusus, misalnya orang yang menggantikan pembeli, mendapat haknya sebagai pemilik.
c. Pihak ketiga (Pasal 1317 KUHPerdata)
Dalam Pasal 1317 KUHPerdata, diperbolehkan untuk meminta ditetapkan sesuatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji yang dibuat oleh seseorang untuk dirinya sendiri atau suatu pemberian yang dilakukannya pada seorang lain memuat janji yang seperti itu.
Pihak yang telah memperjanjikan sesuatu seperti hal di atas tadi tidak dapat menarik perjanjiannya kembali apabila pihak ketiga tersebut telah menyatakan kehendaknya atau kemauannya untuk mempergunakannya.
Dapat disimpulkan bahwa janji untuk pihak ketiga ini merupakan suatu penawaran yang dilakukan oleh pihak yang meminta diperjanjikan hak kepada mitranya agar melakukan prestasi kepada pihak ketiga.
Hukum perjanjian mengenal beberapa asas penting yang merupakan dasar kehendak pihak-pihak dalam mencapai tujuan. Asas-asas tersebut, adalah:
a. Asas kebebasan berkontrak
Berdasarkan asas ini setiap orang bebas mengadakan perjanjian apa saja, baikyang sudah diatur atau belum diatur dalam undang-undang. Namun kebebasan ini dibatasi oleh 3 hal, yaitu:
b. Asas pelengkap
Asas ini mengandung arti jika ada hal-hal yang tidak diatur dalam perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak, maka berlaku ketentuan undang-undang. Hal ini hanya berkaitan dengan hak dan kewajiban para pihak.
c. Asas konsensual
Asas ini mengandung arti bahwa perjanjian terjadi saat tercapainya kata sepakat (konsensus) antara para pihak, dan sejak saat itu timbul hak dan kewajiban diantara kedua belah pihak.
d. Asas obligator
Asas ini mengandung arti bahwa perjanjian yang dibuat para pihak hanya baru menimbulkan hak dan kewajiban saja, belum terjadi peralihan hak milik. Hak milik beralih apabila dilakukan perjanjian yang bersifat kebendaan, yaitu melalui penyerahan (levering).
Jenis-jenis perjanjian berdasarkan kriterianya:
a. Perjanjian timbal balik dan sepihak
b. Perjanjian bernama dan tak bernama
c. Perjanjian obligator dan kebendaan
d. Perjanjian konsensual dan real
Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali secara sepihak karena perjanjian adalah persetujuan kedua belah pihak, maka jika akan ditarik kembali atau dibatalkan harus disetujui oleh kedua belah pihak juga. Tetapi apabila ada alasan yang cukup menurut undang-undang, perjanjian dapat di batalakan secara sepihak. Alasan-alasan tersebut adalah:
a. Perjanjian yang bersifat terus menerus, berlakunya dapat dihentikan secara sepihak. Misalnya Pasal 1571 KuhPerdata tentang sewa menyewa yang dibuat secara tidak tertulis dapat dihentikan dengan pemberitahuan kepada pihak penyewa.
b. Perjanjian sewa suatu rumah Pasal 1587 KUHPerdata setelah berakhirnya waktu sewa seperti ditentukan perjanjian tertulis, penyewa tetap menguasai rumah tersebut, tanpa adanya teguran dari pihak yang menyewakan rumah, maka penyewa dianggap tetap meneruskan penguasaan rumah itu atas dasar sewa-menyewa dengan syarat-syarat yang sama dan untuk waktu yang telah ditentuakan menurut perjanjian sebelumnya. Jika pemilik ingin meghentikan sewa-menyewa tersebut maka ia harus memberitahukannya kepada pihak penyewa.
c. Perjanjian pemberian kuasa, Pasal 1814 KUHPerdata. Pemberi kuasa dapat menarik kembali kuasanya apabila ia menghendakinya.
d. Perjanjian pemberi kuasa, Pasal 1817 KUHPerdata. Penerima kuasa dapat membebaskan diri dari kuasa yang diterimanya dengan memberitahukan kepada pemberi kuasa.
Seseorang yang mengadakan perjanjian namun lalai untuk melaksanakan apa yang telah diperjanjikannya maka ia disebut telah melakukan wanprestasi. Lalai dalam hal ini adalah apabila ia:
a. Tidak memenuhi kewajibannya;
b. Terlambat memenuhi suatu kewajibannya;
c. Memenuhi kewajibannya tetapi tidak seperti apa yang telah diperjanjikannya.
Apabila dalam suatu perjanjian ada pihak yang wanprestasi maka hal pertama yang harus dilakukan adalah memberikannya peringatan, yang dalam undang-undang peringatan tersebut harus dalam bentuk tertulis. Jika dalam perjanjian telah dituliskan hal apa yang termasuk dalam suatu kelalaian maka dalam hal ini tidak perlu adanya suatu peringatan.
Seseorang yang wanprestasi dapat digugat di depan hakim dan hakim akan menjatuhkan putusan yang merugikannya. Pihak yang dirugikan akibat adanya kelalaian ini dapat memilih untuk menggugat dengan berbagai kemungkinan:
a. Meminta dilaksanakannya kewajiban sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan, meski pelaksanaannya telah terlambat;
b. Meminta penggantian kerugian, yaitu kerugiann yang dideritanya karena perjanjian yang tidak atau terlmabat dilaksanakan, atau dilaksanakan tapi tidak sesuai dengan yang seharusnya telah diperjanjikan;
c. Menuntut pihak yang lalai disertai dengan penggantian kerugian yang dideritanya akibat terlambatnya pelaksanaan perjanjian;
d. Dalam suatu perjanjian ada yang meletakkan kewajiban timbal balik, di mana kelalaian satu pihak mengakibatkan pihak tersebut harus memberikan hak kepada pihak yang lain untuk meminta pada hakim agar perjanjian dibatalkan, disertai dengan penggantian kerugian (Pasal 1226 KUHPerdata)
Penggantian kerugian dapat dituntut berdasarkan 3 hal (Pasal 1243 KUHPerdata), yaitu:
a. Penggantian kerugian berupa biaya yang benar-benar telah dikeluarkan;
b. Penggantian kerugian yang menimpa harta benda pihak yang dirugikan;
c. Penggantian kerugian berupa hilangnya keuntungan akibat adanya pihak yang lalai.
Misalnya: A telah mengadakan perjanjian dengan B untuk mengadakan sebuah pertunjukan musik. B tanpa alasan yang jelas menyatakan tidak akan tampil dalam pertunjukan tersebut, sehingga dengan terpaksa A membatalkan pertunjukannya. Dalam hal ini yang termasuk dalam kerugian yang benar-benar telah dikeluarkan oleh A adalah biaya-biaya persiapan yang telah dikeluarkannya untuk pertunjukan ini. Kehilangan keuntungan yaitu hilangnya pendapatan dari penjualan tiket pertunjukan.
Penggantian kerugian yang menimpa harta benda ini misalnya A mengadakan perjanjian jual beli dengan B. Dalam hal ini A akan menjual kembali barang tersebut kepada C dengan harga jual yang lebih tinggi. Namun ternyata B lalai tidak melaksanakan kewajibannya untuk menyerahkan barangnya kepada A, maka A berhak meminta penggantian uang yang akan ia dapat dari C kepada B.
Pihak dalam sebuah perjanjian yang dianggap lalai dapat melakukan pembelaan dengan mengatakan bahwa ada hal-hal atau keadaan-keadaan di luar kekuasaannya yang memaksanya sehingga ia tidak dapat menepati apa yang menjadi kewajibannya dalam suatu perjanjian. Hal ini disebut Overmacht (keadaan memaksa). Untuk dapat dikatakan keadaan memaksa, keadaan yang timbul harus berupa suatu keadaan yang tidak dapat diketahui pada waktu perjanjian itu dibuat, setidak-tidaknya tidak dapat dipikul risikonya oleh pihak yang dianggap lalai tersebut. Jika ia dapat membuktikan bahwa ia benar-benar dalam keadaan overmacht, maka hakim dapat menolak tuntutan yang diajukan kepadanya.
Keadaan memaksa (overmacht) berdasarkan sifatnya terdapat 2 macam, yaitu:
a. Bersifat mutlak (absolut)
Salah satu pihak tidak mungkin lagi melaksanakan perjanjian, misalnya karena objek perjanjian telah musnah karena bencana alam.
b. Bersifat tak mutlak (relative)
Suatu perjanjian masih dapat dilaksanakan, tetapi dengan adanya pengorbanan yang sangat besar dari salah satu pihak, misalnya harga barang yang diperjanjiakan tiba-tiba melambung tinggi atau pemerintah dengan tiba-tiba mengeluarkan suatu peraturan bahwa dilarang untuk mengeluarkan suatu macam barang dari suatu daerah tertentu dan jika melanggar akan dikenakan hukuman.
Dalam suatu perjanjian ada yang disebut dengan risiko. Risiko dalam hal ini berbeda dengan pengertian risiko dalam perkataan sehari-hari. Dalam hukum, risiko yaitu berkaitang dengan siapa yang akan menanggung ganti rugi apabila ada pihak yang tidak memenuhi prestasi dalam suatu perjanjian.
SURAT PERJANJIAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
1. Nama :
Tempat tanggal lahir :
Alamat :
Pekerjaan :
Yang selanjutnya dalam surat perjanjian ini disebut sebagai pihak kesatu (1).
2. Nama :
Tempat tanggal lahir :
Alamat :
Pekerjaan :
Yang selanjutnya dalam surat perjanjian ini disebut sebagai pihak kedua (2).
Kedua belah pihak telah sepakat mengadakan perjanjian ….., yang diatur dalam pasal-pasal seperti di bawah ini:
Pasal 1
(memuat hal-hal yang diperjanjikan, hak dan kewajiban para pihak)
Pasal 2
(memuat sanksi apabila salah satu pihak tidak menjalankan kewajibannya)
Pasal 3
(memuat tentang cara penyelesaian masalah apabila terjadi perselisihan)
Bandung, ……… 20..
Pihak kesatu Pihak kedua
( ) ( )
Saksi:
1.
2.
3.