Jenis pajak yang diterapkan di Negara Republik Indonesia adalah (i) Pajak Pusat; dan (ii) Pajak Daerah. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 6 Tahun 1983, Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Adapun Pajak Pertambahan Nilai termasuk ke dalam jenis Pajak Pusat. Lebih lanjut, definisi Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi.
Selain yang telah dijelaskan tersebut, berikut adalah istilah-istilah lain dalam bidang Pajak Pertambahan Nilai berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana terakhir kali diubah dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 (“UU No. 8 Tahun 1983”), yang terkait dengan topik artikel ini:
1. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara diatasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-undang yang mengatur mengenai kepabeanan;
2. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean;
3. Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak.
Pasal 4 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 (“PP No. 1 Tahun 2012”) mengatur bahwa pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak bertanggung jawab secara renteng (tanggung jawab kepada pihak berikutnya secara berurutan) atas pembayaran Pajak Pertambahan Nilai. Namun demikian, ketentuan tersebut tidak diberlakukan dalam hal:
(i). Pajak yang terutang tersebut dapat ditagih kepada penjual barang atau pemberi jasa; atau
(ii). Pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak dapat menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran pajak kepada penjual barang atau pemberi jasa.
b. Penanggung Jawab Pembayaran Pajak Terutang ke Kas Negara
Pasal 2 ayat (1) PP No. 1 Tahun 2012 mengatur bahwa Pengusaha yang melakukan kegiatan-kegiatan sebagaimana disebutkan dalam Bagian Kedua – Nomor 2 artikel ini (Objek Pajak), kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Pengusaha yang sudah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tersebut wajib memungut, menyetor dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang.
2. Objek Pajak
Pasal 4 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1983 mengatur bahwa Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan-kegiatan antara lain:
a. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
b. Impor Barang Kena Pajak;
c. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
d. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
e. Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
3. Pengecualian Objek Pajak
Berdasarkan Pasal 4A ayat (2) dan (3) UU No. 8 Tahun 1983, jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut:
a. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya;
b. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, seperti beras, jagung dan kedelai;
c. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan
d. Uang, emas batangan dan surat berharga.
Sementara itu, jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa tertentu dalam kelompok jasa antara lain sebagai berikut:
a. jasa pelayanan kesehatan medik;
b. jasa pelayanan sosial;
c. jasa pengiriman surat dengan perangko.
4. Rumus Perhitungan Pajak Pertambahan Nilai
a. Dasar Pengenaan Pajak
Pasal 9 ayat (1) PP No. 1 Tahun 2012 mengatur bahwa dasar pengenaan pajak untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang terutang, meliputi jumlah:
(i). Harga Jual;
(ii). Penggantian;
(iii). Nilai impor;
(iv). Nilai ekspor; atau
(v). Nilai lain (misalnya untuk penyerahan produk hasil tembakau adalah sebesar harga jual eceran).
b. Tarif Pajak Pertambahan Nilai
Pasal 7 UU No. 8 tahun 1983 mengatur bahwa tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen). Selain itu, tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas:
(i). Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
(ii). Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan
Artikel ini akan memberikan simulasi tata cara menghitung Pajak Pertambahan Nilai dengan contoh kasus sebagai berikut:
PT A sebagai Pengusaha Kena Pajak yang bergerak dalam bidang perdagangan besar mebel, pada 5 September 2013 menyerahkan 5 unit sofa kepada PT X dengan total Harga Jual Rp 50.000.000,00. Atas penyerahan ini PPN yang terutang adalah sebesar 10% x Rp50.000.000,00 = Rp 5.000.000.
Sebagai tambahan, mekanisme umum atas transaksi tersebut adalah sebagai berikut:
1. PT A menerbitkan Faktur Pajak untuk memungut Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp 5.000.000,00;
2. Adapun Faktur Pajak sebagaimana dimaksud terdiri dari 2 (dua) lembar, dengan rincian:
a. Lembar pertama diberikan kepada PT X sebagai bukti beban pajak yang seharusnya dibayar;
b. Lembar kedua menjadi arsip PT A sebagai bukti pemungutan pajak.
3. PT X wajib membayar pajak terutang tersebut kepada PT A;
4. PT A wajib menyetor pajak yang dipungut tersebut ke Kas Negara.