Daftar isi
Tetanus merupakan penyakit infeksi akut dan seringkali fatal yang disebabkan oleh bakteri Clostridium tetani yang memproduksi toksin (racun). Racun ini yang kemudian menghasilkan gangguan saraf yang ditandai dengan meningkatnya tegangan dan kekejangan otot.
Biasanya bakteri ini masuk ke tubuh melalui luka tusuk yang terkontaminasi seperti kait logam, serpihan kayu, atau gigitan serangga. Meskipun demikian, luka lain seperti luka bakar, luka operasi, borok, dan tali pusat bayi baru lahir juga dapat menjadi pintu masuk bakteri ini.
Tetanus terjadi secara sporadik dan hampir selalu mengenai orang yang belum pernah diimunisasi, atau bahkan yang sudah diimunisasi secara lengkap yang tidak menjaga imunitasnya dengan vaksinasi ulangan. Akan tetapi, penyakit ini merupakan penyakit yang dapat dicegah sepenuhnya dengan vaksinasi.
Tetanus bukan merupakan penyakit menular yang dapat ditularkan dari satu orang ke orang lain. Sangat penting untuk mengenali kasus ini secara cepat karena sering dibutuhkan perawatan inap dan pengobatan.
Angka kematian dan penyebab kematian akibat penyakit ini bervariasi tergantung fasilitas yang ada. Tidak dapat disangkal bahwa adanya Unit Perawatan Intensif (UPI) mengurangi angka kematian. Pada negara berkembang, tanpa fasilitas UPI, kematian akibat tetanus yang berat melebihi 50% dengan sumbatan jalan napas, gagal napas, dan gagal ginjal sebagai penyebab utama. Tingkat kematian 10% telah menjadi target pada negara – negara maju.
Gejala-gejala tetanus merupakan akibat dari salah satu jenis racun yang mempengaruhi sistem saraf, sehingga menyebabkan peningkatan tegangan dan kejang otot yang menyakitkan.
Terdapat kelompok gejala yang terdiri dari kekakuan, kekejangan otot, dan jika berat akan terjadi disfungsi pada sistem saraf otonom (bagian dari sistem saraf yang mengontrol kegiatan tubuh yang tidak disadari seperti napas, denyut jantung, dll). Kekakuan leher, sulit menelan dan membuka mulut merupakan gejala awal. Kejang pada otot dapat mengenai ke otot – otot wajah menghasilkan tampilan wajah yang khas yang sering disebut sebagai ‘risus sardonicus’. Kekakuan juga dapat mengenai otot leher dan batang tubuh yang menyebabkan tubuh kaku membentuk seperti busur. Hal ini menjadi berbahaya jika kekakuan mengenai otot – otot pernapasan yang menyebabkan seseorang menjadi sulit bernapas.
Kontraksi racun yang terjadi pada otot memiliki tampilan seperti kejang. Kejadian ini dapat terjadi secara spontan atau terjadi karena rangsangan sentuhan, visual, suara atau bunyi, atau emosional. Kejang ini bervariasi dalam berat dan frekuensinya, namun dapat cukup kuat untuk menyebabkan patah tulang dan robeknya bagian dari otot yang menghubungkan otot dengan tulang. Hal ini juga dapat menyebabkan gagal napas pada pasien yang dimulai dari kejang tenggorokan yang diikuti kejang pada saluran pernafasan yang berhubungan dengan kejadian masuknya benda asing (darah, cairan lambung, air liur, dsb) ke jalan napas dan sumbatan jalan napas yang membahayakan nyawa.
Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir menyumbang lebih dari 50% kematian yang disebabkan oleh tetanus di seluruh dunia, namun kasus ini sangat jarang di negara-negara maju. Gejalanya diawali dengan sulit makan, muntah, dan kejang. Infeksi otak, infeksi sistemik menjadi perbandingan diagnosa dari kasus ini. Kejang biasanya terjadi di seluruh tubuh dan angka kematiannya tinggi. Kurang dijaganya kebersihan di tali pusat biasanya menjadi penyebab terjadinya tetanus bayi baru lahir. Akan tetapi, hal ini dapat dicegah dengan vaksinasi yang diberikan untuk ibu hamil.
Ketika jumlah racun lebih kecil dan cedera terjadi pada daerah tubuh tertentu di bagian luar atau pinggir, tetanus lokal dapat dijumpai. Kejang dan kekakuan hanya terbatas pada area tertentu saja. Angka kematian lebih rendah, kecuali pada kasus tetanus sefalik di mana cedera pada kepala mempengaruhi saraf-saraf otak yang dengan cepat dapat berkembang menjadi tetanus umum yang tentunya memiliki angka kematian yang tinggi.
Masa inkubasi (waktu dari terjadinya cedera sampai muncul gejala pertama) rata – rata 7 hingga 10 hari, namun dapat juga berkisar antara 1 hingga 60 hari. Onset (waktu dari gejala pertama sampai kejang pertama) penyakit ini bervariasi antara 1 – 7 hari. Semakin pendek masa inkubasi dan onset, biasanya lebih berat pula keadaan penyakit yang diderita.
Gangguan otonom biasanya terjadi beberapa hari setelah kejang dan bertahan 1-2 minggu. Kejang mulai berkurang setelah 2-3 minggu, tetapi kekakuan dapat bertahan lebih lama.
Pemulihan terjadi karena tumbuhnya ujung - ujung saraf baru dan penghancuran dari racun. Akan tetapi, pasien yang telah pulih dapat tetap memiliki masalah fisik dan psikologis yang menetap.
Terdapat beberapa sistem yang digunakan untuk menilai tingkat keparahan dari penyakit ini. Sistem yang paling sering digunakan adalah yang dilaporkan oleh Ablett seperti berikut ini:
Tingkat |
Gejala |
I |
Ringan : trismus* ringan – sedang ; gangguan pernapasan (-) ; kejang (-) ; sulit menelan yang ringan atau tidak ada. |
II |
Sedang : trismus sedang ; kekakuan yang cukup bermakna ; kejang ringan – sedang namun pendek ; gangguan pernapasan sedang dengan peningkatan laju napas lebih dari 30 kali per menit ; sulit menelan ringan. |
III |
Berat : trismus berat ; kejang seluruh tubuh ; peningkatan laju napas lebih dari 40 kali per menit ; terdapat kejadian henti napas ; sulit menelan yang berat ; denyut nadi lebih dari 120 kali per menit. |
IV |
Sangat Berat : tingkat III dan adanya gangguan sistem otonom yang berat yang mempengaruhi sistem kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah). Hipertensi berat dan denyut nadi yang cepat bergantian dengan tekanan darah rendah dan denyut nadi lambat yang menetap. |
|
* Merupakan suatu kondisi dimana adanya kejang pada otot rahang, sehingga mulut menjadi tetap terkatup / sulit membuka. |
Komplikasi dapat terjadi sebagai bagian dari penyakit (seperti: kejang tenggorokan, kurangnya oksigen dalam sirkulasi), atau sebagai konsekuensi dari pengobatan (seperti : pemberian obat untuk menenangkan yang berdampak pada terjadinya koma, masuknya benda asing (seperti : darah, cairan lambung, air liur, dsb) ke jalan napas sampai henti napas, infeksi paru terkait penggunaan alat bantu napas, komplikasi dari prosedur trakeostomi (pembedahan pada saluran pernafasan untuk membuat jalan napas darurat), gejala sesak napas akut). Komplikasi juga dapat mengenai sistem pencernaan, jantung dan pembuluh darah, serta saluran kencing.
Tetanus disebabkan oleh bakteri Gram positif, Clostridium tetani. Bakteri ini sering ditemui pada tanah, tetapi kadang juga dapat ditemui pada feses atau kotoran dari binatang atau manusia. Bakteri ini menghasilkan spora yang hanya dapat hancur sempurna dengan autoklaf (alat pensterilan) pada tekanan 1 atmosfer dan suhu 120oC selama 15 menit. Perebusan saja tidak akan menghancurkan secara sempurna spora ini. Gejala tetanus dihasilkan dari racun yang diproduksi oleh bakteri ini.
Terdapat 3 prinsip untuk pengobatan bagi penyakit ini : (1) menghancurkan bakteri sehingga racun tidak diproduksi secara terus - menerus ; (2) menetralisasi racun yang sudah beredar di tubuh diluar sistem saraf pusat ; (3) meminimalisasi efek racun yang sudah mengenai sistem saraf pusat.
Human tetanus immune globulin (HTIG) 3000 – 6000 unit diberikan secara suntikan ke otot biasanya diberikan untuk menetralisasi racun yang masih beredar dan belum menempel pada saraf. Hal yang tidak kalah penting adalah untuk mengatasi sumber infeksi, dalam hal ini, luka harus dibersihkan dan dirapikan dengan tindakan bedah jika diperlukan. Metronidazole merupakan antibiotik pilihan.
Untuk mengontrol kejang, diperlukan ruangan yang tenang, bebas dari rangsangan – rangsangan, sampai pemberian anti kejang jika diperlukan. Penanganan umum seperti pemberian cairan dan nutrisi yang cukup serta penanganan infeksi sekunder juga memerlukan cukup banyak perhatian. Selain itu, penggunaan tetanus toksoid dan tetanus immune globulin (TIG) pada manajemen luka juga penting untuk mencegah terjadinya tetanus.
SUMBER Dorland’s Illustrated Medical Dictionary 32nd Edition. Elsevier. 2012. Cook TM, Protheroe RT, Handel JM. Tetanus: A Review of The Literature. British Journal of Anaesthesia 2001; 87: 477-87. Tiwari Tejpratap SP. Chapter 16: Tetanus dalam VPD Surveillance Manual 5th Edition, 2011. Towey R. Tetanus: A Review. Update in Anaesthesia. Mandel L, Wunderink R. Chapter 251: Pneumonia dalam Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th Edition. USA : McGraw-Hill. 2008. Kumar P, Clark M. Chapter 4 : Infectious diseases, Tropical Medicine and Sexually Transmitted Infection dalam Kumar & Clark’s Clinical Medicine 7th Edition. Spain : Elsevier. 2009.