Daftar isi
Leptospirosis adalah penyakit zoonosis (penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia) yang disebabkan mikroorganisme Leptospira interogans. Penyakit ini pertama kali dikemukakan oleh Adolph Weil pada tahun 1886. Weil berhasil menemukan penyakit yang disertai gejala kuning ini dan membedakan dengan penyakit kuning lainnya, maka bentuk berat penyakit ini disebut Weil's disease. Nama lain untuk penyakit ini adalah mud fever, slime fever, swamp fever, autumnal fever, infectious jaundice, field fever, dan cane cutter fever.
Manusia yang terinfeksi Lepstospira, dapat menjadi sakit maupun tidak. Banyak penelitian telah dilakukan pada orang-orang yang berisiko tinggi terinfeksi, tetapi walaupun ada Leptospira dalam darahnya, orang tersebut tidak sakit. Lebih dari 90% orang yang menjadi sakit tidak disertai gejala kuning. Pada 5-10% orang terinfeksi dan menjadi sakit terdapat gejala kuning yang tampak pada kulit dan gejala lebih berat.
Gejala terberat dari penyakit ini, atau yang disebut Weil's disease, ditandai dengan pasien tampak kuning dan pada pemeriksaan ditemukan gangguan ginjal dan gangguan pembekuan darah. Awalnya, gejala penyakit ini sama seperti leptospirosis biasa tetapi pasien mulai kuning pada hari ke 4-9. Kuning pada penyakit ini agak berbeda dibandingkan penyakit liver atau saluran empedu maupun kuning yang disebabkan pemecahan sel darah merah berlebihan. Pada penyakit ini, pasien akan tampak jingga (kuning-orange). Pada minggu kedua, dapat terjadi gangguan ginjal pada kasus berat ini. Wujud gangguan pembekuan darah adalah terlihat bintik-bintik hingga bercak merah di kulit dan jarang sekali disertai perdarahan di selaput otak, saluran pencernaan, ataupun kelenjar adrenal.
Masa inkubasi, yaitu dari masuknya mikroorganisme sampai muncul gejala penyakit, berkisar antara 2-26 hari, rata-rata 10 hari. Gejala klinis ini terdiri dari dua fase. Fase pertama disebut dengan fase leptospiraemia, yaitu fase di mana mikroorganisme penyebab (leptospira) ada di dalam darah, cairan otak, dan cairan saraf tulang belakang. Fase kedua disebut fase imun, di mana didapatkan peningkatan zat kekebalan dalam darah.
Gejala pada fase leptospiraemia yaitu panas badan, menggigil, sakit kepala, tidak nafsu makan, badan pegal-pegal, mual, muntah, nyeri perut, kuning, dan rasa tidak nyaman di mata. Panas badan berkisar antara 38-400C. Gejala yang lain tetapi jarang terjadi pada fase ini adalah batuk berdarah, gangguan kesadaran, nyeri sendi, muntah darah, dan pembengkakan pada perut atau tungkai. Gejala awal pada fase ini umumnya berupa nyeri kepala sekitar dahi, rasa nyeri otot hebat dirasakan pada otot paha, betis, dan pinggang. Panas badan terjadi disertai mual dan muntah. Pada hari ke-3-4 dapat timbul kemerahan pada mata. Pada kulit dapat dijumpai ruam. Fase ini berlangsung selama 4 hingga 7 hari. Jika penanganan cepat dan tepat, keadaan akan membaik dan fungsi organ tubuh kembali normal dalam 3 sampai 6 minggu. Pada keadaan sakit lebih berat, panas badan turun pada hari ke-7 diikuti bebas demam selama 1-3 hari kemudian demam terjadi lagi, di mana pada saat ini disebut fase kedua yaitu fase imun.
Fase imun ditandai peningkatan kadar zat kekebalan dalam darah dan gejala yang dapat timbul adalah panas badan tinggi sampai 400C disertai menggigil dan lemah badan. Terdapat rasa sakit menyeluruh pada leher, perut, dan otot-otot kaki terutama betis. Dapat dijumpai perdarahan seperti mimisan, perdarahan gusi, bercak perdarahan pada kulit, gejala kerusakan ginjal dan liver, dijumpai kadar ureum yang tinggi dalam darah dan kuning. Mata kemerahan disertai kuning merupakan tanda khas untuk penyakit ini. Pada fase ini dapat dijumpai komplikasi radang selaput otak, ditandai dengan kaku pada leher, rasa nyeri kepala, dan gangguan kesadaran. Mikroorganisme leptospira dapat ditemukan pada pemeriksaan air kencing pada fase ini.
Leptospirosis disebabkan oleh genus leptospira, merupakan mikroorganisme (makhluk hidup berukuran sangat kecil). Ciri khas dari leptospira ini yaitu bentuknya seperti benang, tipis, tubuhnya fleksibel, kadang dapat berbentuk menyerupai spiral, dengan panjang 5-15 mikrometer dan lebar 0,1-0,2 mikrometer. Salah satu ujung tubuhnya membengkak dan membentuk suatu kait. Secara sederhana, genus leptospira terdiri dari dua spesies, Leptospira interogans yang menyebabkan penyakit, dan Leptospira biflexa yang tidak menyebabkan penyakit.
Leptospira yang dapat menyebabkan penyakit lebih lanjut dibagi lagi menjadi beberapa varian. Leptospira icterohemorrhagica dengan reservoir (tempat mikroorganisme berkembang biak) tikus, Leptospira canicola dengan reservoir anjing, dan Leptospira pomona dengan reservoir sapi dan babi adalah varian tersering yang menyerang manusia. Pada hewan, Leptospira hidup dalam ginjal dan dapat dikeluarkan pada air kencing hewan tersebut.
Manusia terinfeksi melalui kontak dengan air, tanah, atau lumpur yang terkontaminasi air kencing binatang yang telah terinfeksi leptospira. Mikroorganisme ini dapat masuk ke dalam aliran darah melaui kulit baik utuh maupun terluka, selaput lendir pada hidung,mulut, tenggorokan, dan lapisan luar mata, bahkan paru-paru bila terhirup. Pada kehamilan, mikroorganisme dapat masuk dari darah ibu ke janin melalui ari-ari. Air tergenang atau mengalir lambat lebih sering menjadi sumber penularan penyakit. Karena itu, tidak heran penyakit ini sering ditemukan sesudah banjir. Kadang-kadang penyakit ini terjadi akibat gigitan binatang yang telah terinfeksi leptospira atau kontak kulit dengan kultur (suatu bahan untuk menumbuhkan mikroorganisme tertentu) leptospira di laboratorium.
Waktu yang dibutuhkan Leptospira dari masuk ke tubuh hingga menyebabkan penyakit berkisar dari 72 jam hingga satu bulan, umumnya 5-14 hari.
Orang-orang yang berisiko tinggi terjangkit leptospirosis adalah pekerja di sawah, perkebunan, peternakan, pekerja tambang, pekerja rumah potong hewan, orang yang berkemah di hutan, dan dokter hewan.
Pengobatan suportif (pengobatan diberikan sesuai gejala yang timbul) dengan observasi ketat diperlukan untuk mencegah keadaan dehidrasi dan komplikasi gagal ginjal. Pada kasus ringan, selain obat, pasien diberi minum dalam jumlah cukup untuk mencegah kekurangan cairan. Pada kasus berat, bila dijumpai kekurangan volume cairan tubuh, pasien harus rawat inap dan diawasi secara ketat. Bila tidak diatasi dengan baik, kekurangan volume cairan dapat menyebabkan gangguan ginjal akut.
Pengobatan definitif adalah dengan memberikan antibiotik, lebih cepat lebih baik, di mana paling efektif dilakukan dalam 4 hari setelah mulai munculnya gejala. Untuk kasus berat, diperlukan antibiotik yang diberikan dalam bentuk suntikan. Obat pilihan adalah golongan penisilin, yaitu penisilin G, ampisilin, dan amoksisilin. Pilihan lainnya tetrasiklin, doksisiklin, dan sefalosporin.
Jika tidak ditemui gejala kuning, penyakit jarang fatal. Pada kasus yang disertai kuning pada kulit, angka kematian sekitar 5% pada usia di bawah 30 tahun, sedangkan 30-40% pada usia yang lebih lanjut.
Pencegahan penyakit ini sulit untuk di daerah tropis. Banyaknya binatang yang menjadi perantara penyakit dan varian lepstospira sulit dihapuskan. Bagi yang berisiko tinggi terjangkit penyakit, disarankan untuk memakai alat perlindungan diri. Pemberian obat doksisiklin dengan dosis 200 mg per minggunya cukup efektif untuk mencegah penyakit, tetapi hanya diberikan pada orang yang berisiko terpapar dalam waktu yang singkat. Vaksinasi terhadap hewan reservoir sudah dilakukan. Namun demikian, pada beberapa kasus masih saja terdapat leptospira pada air kencing hewan yang sudah divaksinasi. Untuk manusia, pembuatan vaksin belum berhasil.