Daftar isi
Penyakit Rabies sering disebut penyakit anjing gila, karena binatang atau hewan penular rabies (HPR) yang utama adalah anjing yang umumnya terlihat agresif. Penyakit menular akut yang menyerang susunan saraf pusat ini dapat terjadi pada manusia dan hewan.
Penyakit rabies pada manusia memiliki nama “cantik” Lyssa dalam bahasa Yunani, yang artinya kegilaan. Infeksi virus akut mematikan ini disebarkan melalui perantara hewan yang terinfeksi. Walaupun sering mematikan, namun penyakit ini dapat dicegah. Kemampuan penularan dari hewan ke manusia ini digolongkan ke dalam penyakit yang disebut zoonosis. Kebanyakan kasus infeksi pada manusia memang disebabkan oleh gigitan anjing. Namun, di beberapa negara pernah dilaporkan keterlibatan penyakit ini dengan kelelawar, kucing, kera, rubah, sigung.
Rabies telah dikenal sejak 4000 tahun lalu, di mana risiko tertinggi penyakit ini ada di negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Di Indonesia, penyakit rabies ini sempat dinyatakan sebagai kejadian luar biasa (KLB) di beberapa kabupaten dan provinsi. Menurut siaran pers Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI) tahun 2012 lalu, badan kesehatan dunia atau World Health Organization (WHO) regional Asia Tenggara, melalui sidangnya pada November 2008 di Jakarta, menetapkan rabies sebagai prioritas kedua setelah flu burung. Indonesia mencanangkan program pengendalian rabies menuju Indonesia Bebas Rabies 2020.
Lima (5) tahapan manifestasi klinis rabies pada manusia umumnya meliputi masa inkubasi, prodromal, neurologis akut, koma, dan kematian (atau, jarang sekali, penyembuhan). Makin dekat lokasi masuknya virus ke otak, umumnya makin cepat kemunculan gejala, dan makin besar risiko kematiannya.
Jalan masuk bagi virus ke dalam tubuh adalah melalui luka. Awalnya, virus berdiam di sekitar area bekas gigitan atau luka. Proses perkembangan virus rabies pada manusia masih diteliti lebih lanjut.
Virus Lyssa diyakini punya potensi menyerang sistem saraf tepi secara langsung bahkan dapat memperbanyak diri di jaringan otot sekitar area luka. Selanjutnya, virus dapat dengan cepat atau lambat menjalar melalui darah ke otak hingga ke ujung-ujung serabut saraf. Makin dekat lokasi luka ke otak, umumnya makin tinggi potensi keparahannya. Sesampainya di otak, pada tingkat lanjut, virus memperbanyak diri kembali dan menyebar melalui sistem persarafan, kelenjar, hingga seluruh organ tubuh.
Lama waktu sejak mulai tergigit hingga muncul gejala bervariasi dari satu penderita dengan penderita lainnya. Masa inkubasi ini lebih bervariasi lamanya dibanding penyakit infeksi akut lainnya, bisa harian sampai tahunan. Namun, rata-rata masa inkubasi membutuhkan waktu 3-12 minggu atau 1-3 bulan.
Di area gigitan dapat terjadi kerusakan jaringan kulit, otot, pembuluh darah, dan saraf. Beberapa gejala umum atau tidak spesifik yang bisa ditemukan pada fase prodromal adalah sebagai berikut:
Pada tahap virus menyerang area saraf penerima rangsang dan otot, dapat terjadi fase neurologis akut, antara lain:
Sampai kondisi ini, pasien rabies serupa dengan penderita penyakit radang otak, gangguan kejiwaan, atau gangguan otak lainnya. Terganggunya fungsi vital tubuh dapat berujung pada keadaan koma dan kematian. Kekakuan pada otot dapat terjadi hingga penderita meninggal. Bahkan, kelumpuhan dapat mendominasi pada fase terminal ini. Dengan gejala-gejala di atas yang didukung riwayat gigitan hewan penular rabies, dugaan kasus rabies akan dipertimbangkan.
Untuk diwaspadai, perhatikan juga gejala-gejala binatang atau hewan yang terinfeksi rabies seperti:
Penyakit rabies disebabkan oleh virus rabies yang termasuk virus ribonucleic acid (RNA). Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menyebutkan virus keluarga Rhabdoviridae ini setidaknya punya 3 jenis virus hewan yaitu Lyssavirus, Ephemerovirus, dan Vesiculovirus. Virus rabies termasuk dalam genus Lyssavirus.
Penularan rabies pada manusia terjadi paling banyak karena masuknya air liur hewan terinfeksi ke tubuh melalui kulit yang terluka atau tergores akibat gigitan. Bisa juga, walau jarang terjadi, akibat kontak liur hewan penular rabies dengan selaput lendir/mukosa penderita. Jika kulit sudah terluka kecil atau tergores sebelumnya, walau bukan karena gigitan hewan, jilatan air liur bervirus rabies pun mampu mengakibatkan penyakit ini. Yang disebut terakhir memang lebih kecil risikonya dibanding gigitan langsung yang dalam, lebar, dan banyak. Jalur lain yang lebih jarang adalah melalui kontak kulit yang luka atau selaput lendir dengan jaringan otak hewan pembawa virus serta melalui hirupan aerosol.
Tiap luka terbuka umumnya dianjurkan dibersihkan dengan sabun dan air bersih yang mengalir selama 10-15 menit. Jika tidak ada riwayat alergi dapat ditambah dengan pemberian antiseptik seperti obat merah, betadin, atau alkohol 70%. Basuh luka masih dianggap sebagai salah satu upaya pencegahan infeksi dan kematian yang efektif. Setelah pemberian pertolongan pertama, untuk luka gigitan hewan, apalagi terduga rabies, dianjurkan untuk segera mencari pertolongan medis dokter, layanan kesehatan terdekat, atau pusat penanganan kasus gigitan hewan penular rabies (GHPR)/Rabies Center (rumah sakit atau pusat kesehatan masyarakat setempat). Kadang dibutuhkan perawatan luka lebih lanjut untuk membersihkan benda asing yang ada. Penjahitan luka pada kasus gigitan hewan jarang dilakukan, kecuali jahitan situasi pada kondisi tertentu.
Jika tidak segera ditangani setelah terkena gigitan dan muncul gejala, hal ini sering berakhir fatal dengan kematian. Menurut WHO dan CDC, sekali gejala rabies muncul, hampir pasti kecil peluang penyembuhannya secara statistik. Maka dari itu, sebaiknya jangan tunggu hingga muncul gejala. Sebaliknya, imunisasi pencegahan rabies segera setelah gigitan dapat melindungi diri dari ancaman yang lebih parah. Tingkat penyembuhannya sebagian besar baik. Sesuai dengan protokol yang ada serta dengan ditunjang laporan statistik kasus rabies dan kebijakan pemerintah setempat akan risiko atau potensi rabies, dokter akan memberikan perawatan serta menentukan perlu tidaknya pemberian pengobatan pencegahan rabies.
Tiap kasus berisiko rabies akan ditindaklanjuti dengan suntikan vaksin antirabies (VAR) untuk pencegahan. Biasanya akan ada total 5 kali suntikan selama waktu 2 minggu atau 14 hari hingga bulanan. Pada hari kejadian, terutama bagi yang belum pernah divaksinasi antirabies, akan diberikan suntikan antibodi atau serum antirabies (SAR) yang disebut Human Rabies Immunoglobulin (HRIG) di area gigitan dan otot. Dilanjutkan dengan dosis pertama vaksin antirabies. Vaksin lanjutan di otot menyusul di hari atau minggu berikutnya sesuai petunjuk dokter.
Sebelum menyuntikkan suatu obat atau vaksin ke dalam tubuh, dokter akan memastikan pasien tidak alergi terhadap obat atau vaksin tersebut. Dalam hal ini, tes alergi pada kulit mungkin rutin dilakukan. Sehingga reaksi alergi, walau jarang terjadi untuk jenis vaksin yang terkini, dapat dihindari. Pemberian suntikan antitetanus, obat antibiotika, obat antinyeri, dan lainnya akan dipertimbangkan dokter.
Untuk pencegahan, sedapat mungkin hindari kontak dengan binatang liar atau hewan peliharaan yang berisiko sebagai pembawa virus rabies. Hewan yang berisiko sebagai penular virus rabies biasanya dibakar dan dikubur dengan kedalaman lebih dari satu meter. Jika harus kontak dengan hewan berisiko karena pekerjaan atau tugas perjalanan, lakukan vaksinasi terlebih dahulu.
Bila memelihara hewan, sangat dianjurkan untuk melakukan imunisasi teratur pada hewan kesayangan. Di Indonesia, menurut Departemen Kesehatan, penanganan rabies melibatkan kementerian kesehatan dan kementerian pertanian. Kasus yang menyangkut manusia menjadi tugas Departemen Kesehatan. Yang menyangkut hewan jadi tanggung jawab Departemen Pertanian melalui Direktorat Jenderal Peternakan. Kontrol terhadap hewan yang paling berisiko dalam penularan menjadi salah satu prioritas pencegahan saat ini. Hari Rabies Sedunia (HRS) diperingati setiap tanggal 28 September, sesuai kematian penemu vaksin rabies, Louis Pasteur.