Penyebutan penyakit “flu” lebih tepat untuk influenza. “Flu” sepertinya masih sulit dicari padanannya yang memasyarakat dalam bahasa Indonesia. Ada juga yang menyebutnya selesma. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring (dalam jaringan; online):
“flu n penyakit menular pada saluran pernapasan yang disebabkan oleh virus; influenza; pilek,”; “selesma n sakit kedinginan sehingga mengeluarkan ingus; pilek. ”
Istilah “flu” yang dimaksud lebih sering dikenal sebagai common cold atau cold. Ini salah satu jenis infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) yang mudah menular dan paling sering dijumpai. Infeksi virus terjadi pada selaput lendir atau mukosa sekitar hidung dan tenggorokan yang secara umum sifatnya lebih ringan dibanding influenza. Karena itu, hal ini sering juga disebut sakit batuk, pilek, demam atau panas, sakit kepala, nyeri tenggorokan. Panjang bukan? ISPA non-pneumonia ini kadang cukup disebut sakit batuk-pilek ringan.
Klasifikasi penggolongan penyakit secara internasional oleh World Health Organization (WHO) menyebutnya sebagai radang akut nasofaring. Jangan keliru istilah akut dan kronis. Akut menandakan penyakit ini datang mendadak, cepat memburuk, dan umumnya berlangsung sebentar. Nasofaring adalah bagian tenggorokan atau hulu kerongkongan yang berhubungan dengan hidung.
Penyakit ini sangat bervariasi dalam tanda dan gejala, karena serupa dengan influenza tapi lebih ringan. Awalnya, penderita bisa merasa sekujur tubuh terasa lemah, lesu, kurang nafsu makan, dan badan pun meriang, serta kepala terasa pusing seperti berputar-putar. Gejala dapat juga disertairasa pening dan kepala terasa berat. Terkadang ada yang mengalami nyeri atau sakit kepala ringan seperti diremas-remas bersamaan dengan bersin-bersin, sensasi hidung tersumbat hingga ingus cair yang mengucur, dan keluar air mata. Bersin dalam batas tertentu bisa dianggap sebagai salah satu upaya pertahanan tubuh terhadap benda asing yang mengganggu sepanjang saluran selaput lendir atau mukosa hidung. Biasanya juga disertai batuk kering tanpa dahak atau malah berdahak.
Batuk bisa muncul karena sensasi gatal di tenggorokan. Hal ini masih dianggap normal sebagai respon alami tubuh melalui reaksi bulu-bulu getar di sepanjang selaput lendir tenggorokan untuk mengeluarkan benda asing seperti dahak. Nyeri menelan muncul karena adanya proses peradangan. Percikan lendir, ingus, dan dahak yang keluar bisa berasal dari kelenjar berbeda atau sama karena cairan kelenjar mukus dari pangkal saluran hidung sering juga keluar lewat mulut saat bersin, batuk, dan meludah. Warnanya bisa jernih hingga kuning kehijauan. Awalnya encer hingga terasa lebih kental. Perubahan kondisi lendir biasanya dipengaruhi oleh keterlibatan bakteri yang kemudian ikut serta menginfeksi. Beberapa penderita mungkin meraba adanya pembesaran kelenjar di sekitar leher. Karena virus penyebabnya banyak sekali, tanda dan gejala penyakitnya pun sangat bervariasi. Bahkan bisa terjadi dalam satu kasus, seorang penderita diserang jenis virus yang berbeda, berbarengan atau berurutan, dengan, atau tanpa fase penyembuhan dulu.
Bayi dan anak-anak yang paling sering berisiko terkena penyakit ini karena daya tahan tubuhnya sedang dalam perkembangan dan belum banyak tercipta kekebalan alami terhadap banyaknya jenis virus selesma. Bayi dan anak-anak juga belum paham kebersihan tangan, mulut, dan hidung saat terkena selesma. Apalagi mereka sering bermain berkelompok sehingga memudahkan penularan. Secara anatomis, struktur saluran napas bayi dan anak-anak lebih kecil dibanding dewasa menyebabkannya mudah memburuk menjadi sesak napas.
Walau sudah tercipta kekebalan alami karena pernah terkena beberapa kali jenis virus selesma, orang dewasa pun bisa jatuh sakit. Hal ini dapat disebabkan terutama saat daya tahan tubuhnya sedang turun, misalnya saat kurang istirahat, makan tidak teratur, stres berlebih, kurangnya asupan gizi atau malnutrisi, dan kurang minum air. Riwayat penyakit lain seperti alergi, gangguan bawaan saluran pernapasan, dan penyakit bawaan yang menyerang kekebalan tubuh juga turut andil menentukan berat ringannya gejala. Lingkungan juga memengaruhi risiko menderita selesma. Asap rokok dan polusi di sekitar kita membuat saluran pernapasan harus terpapar begitu banyak polutan.
Musim tertentu juga bisa menambah risiko selesma, misalnya musim dingin dan hujan. Pengaruh suhu lingkungan membuat sistem pertahanan tubuh harus bekerja keras mempertahankan suhu tubuh. Peralihan musim pancaroba juga membawa pengaruh penyebaran virus di udara. Peralihan musim ini juga membuat daya tahan tubuh sering terganggu.
Penyakit virus ini biasanya akan mereda dalam satu hingga dua minggu atau 7-14 hari. Beberapa penyakit lain akibat virus seperti influenza, demam berdarah, cacar, cacar air, radang paru, dan infeksi telinga akut juga memiliki beberapa tanda dan gejala serupa di awal kejadian. Pada kondisi-kondisi lebih berat seperti demam tinggi yang tidak mereda, sesak napas, dan keluar cairan dari dalam lubang telinga, memerlukan pertolongan dokter lebih lanjut, karena mungkin saja ada infeksi bakteri dan gangguan lain yang menyertai.
Banyak virus bisa menjadi penyebab radang akut nasofaring ini. Ada sekitar 200-an lebih tipe virus yang diduga sebagai penyebab. Dua yang dominan di antaranya yaitu rhinovirus dan coronavirus. Di luar tubuh manusia, virus masih bisa bertahan hidup dalam hitungan jam.
Virus menyerang area sekitar selaput lendir hidung dan tenggorokan. Terjadilah peradangan lokal. Sistem daya tahan tubuh melalui kelenjar-kelenjar di sekitar area tersebut mengatasinya dengan mengeluarkan atau memroduksi lebih banyak cairan mukus yang kita kenal sebagai lendir ingus dan dahak. Saluran pernapasan yang terlibat pun menjadi lebih bengkak dan lubangnya menyempit. Bayangkan saluran pipa yang sisi dalamnya punya lapisan berlendir dan berbulu lalu mengembang serta menyempit. Hal ini mampu menimbulkan sensasi “mampet” atau tersumbat hingga sesak napas.
Saking banyaknya tipe virus penyebab radang akut nasofaring ini, vaksin dianggap belum terlalu diperlukan. Penyakit ini juga bisa sembuh sendiri dalam hitungan 1-2 mingguan sejalan dengan membaiknya kondisi daya tahan tubuh penderita. Penggunaan antibiotika walau dikatakan untuk pencegahan tidak pada tempatnya untuk kasus virus ini, kecuali terbukti benar adanya keterlibatan bakteri tertentu, bukan hanya virus selesma.
Gejala-gejala yang muncul dalam batas tertentu bisa dianggap respon alami tubuh menghadapi serangan virus. Sehingga dianjurkan agar jangan terburu-buru memberikan obat. Saat demam, terutama bayi dan anak-anak, bisa dikompres dengan air hangat di daerah lipatan lengan dan tungkai tempat lewatnya pembuluh darah besar. Batuk, pilek, dan nyeri menelan bisa dibuat lebih nyaman dengan menghirup uap hangat serta minum air hangat. Hal ini dapat lumayan membantu juga untuk mengencerkan dahak dan mengalirkan ingus.
Jika gejala-gejala tersebut dirasa sangat mengganggu aktivitas sehari-hari dan bertambah parah menyerupai influenza dan penyakit berat lain, saatnya menghubungi dokter. Obat-obatan pereda gejala mungkin diresepkan atas pertimbangan dokter. Itupun bukan untuk digunakan jangka panjang. Obat dimaksud antara lain pereda nyeri kepala dan demam, dekongestan hidung untuk mengurangi hidung tersumbat, dan obat batuk. Bayi dan anak-anak umumnya tidak memerlukan jenis obat sebanyak orang dewasa. Pertimbangannya adalah efek samping obat serta efektivitasnya pada bayi dan anak-anak. Pemberian obat pun bukan dimaksud untuk meredakan virus lebih cepat tapi hanya untuk meringankan gejala yang ada jika dianggap perlu oleh dokter. Tambahan suplemen seperti vitamin C dan zinc bisa diberikan setelah berkonsultasi dengan dokter. Hati-hati untuk mengonsumsi obat bebas mengingat obat-obatan pereda gejala selesma yang termasuk kategori obat bebas memang banyak tersedia di pasaran. Perhatikan kondisi kemasan, kandungan bahan aktifnya, instruksi pemakaian, interaksi obat, kedaluwarsa obat, dan cara penyimpanannya.
Penyakit ini dikenal sebagai penyakit yang dapat sembuh sendiri atau self-limiting disease. Dengan beberapa perubahan gaya hidup berikut akan dapat membantu meningkatkan daya tahan atau kekebalan tubuh penderita. Saat demam dan produksi cairan mukus meningkat, tenggorokan dan seluruh tubuh bisa mengalami relatif kekurangan cairan atau dehidrasi. Asupan cairan yang cukup, baik itu sekadar air putih atau jus akan sangat membantu keseimbangan cairan dan suhu tubuh. Lebih baik lagi dengan air dan makanan hangat yang berpotensi untuk mengurangi peradangan dan memperlancar sirkulasi peredaran darah. Hal ini juga dapat disertai dengan kompres hangat dan mandi air hangat, dan yang tidak kalah penting adalah istirahat yang cukup. Selain itu, kurangi stres dan perbanyak asupan makanan bergizi yang berimbang. Itu semua akan memberi kesempatan tubuh memperbaiki imunitasnya melawan serangan virus.
Lebih baik mencegah daripada mengobati. Karakteristik virus yang menyebar lewat udara ini sangat menular. Bisa melalui kontak langsung maupun tidak langsung. Kontak langsung misalnya melalui terhirupnya virus yang berasal dari bersin atau batuk penderita yang mengandung partikel-partikel virus. Kontak tidak langsung bisa melalui benda-benda yang mengandung virus karena terpapar bersin dan batuk penderita. Benda-benda itu antara lain saputangan, tisu, handuk, perabot makan dan minum, mainan anak, pensil warna, telepon seluler, gagang telepon, gagang pintu, papan ketik komputer, layar sentuh tablet, layar sentuh anjungan tunai mandiri, dan lainnya. Penularan virus selesma bisa terjadi jika setelah kontak dengan benda-benda bekas terkena bersin atau batuk itu, tangan kita segera menyentuh area selaput lendir mata, mulut, atau hidung.
Untuk mencegah hal tersebut di atas, konsep utamanya yang murah meriah adalah mengurangi atau menghindari kontak dengan virus penyebab selesma, dan putus rantai penularannya. Bagi penderita khususnya, tutup mulut saat bersin dan batuk akan lebih dianjurkan. Lebih baik jika memakai masker selama sakit dan kontak dengan orang lain. Cuci tangan teratur dengan sabun dan air bersih mengalir. Setidaknya setelah kontak dengan area hidung yang pilek atau mulut yang batuk dan bersin, cuci tangan sebelum menyentuh makanan dan benda lain akan mengurangi risiko penularan.